Permainan sepak takraw ini berasal dari zaman Kesultanan Melaka (1402 – 1511) dan dikenali sebagai Sepak Raga
dalam bahasa Melayu. Bola terbuat dari anyaman rotan dan pemain berdiri membentuk lingkaran.
Catatan sejarah terawal tentang Sepak Raga terdapat dalam Sejarah Melayu. Ketika pemerintahan Sultan Mansur Shah Ibni Almarhum
Sultan Muzzaffar Shah (1459 – 1477), seorang puteranya bernama Raja Ahmad telah
dibuang negeri kerana bersalah membunuh anak Bendahara akibat persengketaan ketika bermain Sepak Raga. Raja Ahmad kemudiannya
diangkat menjadi Sultan di Pahang, dengan gelaran Sultan Muhammad Shah I Ibni
Almarhum Sultan Mansur Shah.
Pada tahun 1940-an hal ini berubah dengan menggunakan jaring dan peraturan
angka. Di Filipina permainan ini disebut Sipa, di Burma Chinlone, di Laos Kator dan di Thailand Takraw.
Peraturannya sama dengan bola volley dengan perbedaan:
- pemain tidak boleh menyentuh bola dengan tangan
- pemain atau tim hanya boleh menyentuh bola 3 kali berturut-turut
- posisi pemain bertahan tidak diputar
Pembangan Di Masyarakat Makassar
Makassar – Olah raga sepak raga
yang kini lazim dikenal sebagai sepak takraw, sepintas hanya sebagai permainan
yang mengandalkan fisik dengan gerakan-gerakan salto, sambil menendang bola
agar jatuh di daerah lawan. Namun, hanya sedikit yang mengetahui bahwa nenek
moyang sepak takraw adalah sepak raga. Sebuah permainan tradisional khas
Makassar.
Menelusuri
lebih jauh historis sepak raga itu, M.Dahlan Dg Gassing, salah seorang tokoh
yang mengembangkan sepak raga di Desa Kaemba, Dusun Patte’ne, Kabupaten Maros,
bercerita tentang sejarah perkembangan permainan rakyat yang salah satunya
berkembang di Desa Kaemba ini. Dituturkan, sebelum berkembang menjadi sebuah
olahraga takraw, ma’raga (gerakan melakukan raga), pada dasarnya adalah
gerakan-gerakan seni bela diri. Ber-dasarkan cerita turun-temurun di Kaemba,
permainan raga muncul dari sebuah kampung yang dahulu disebut Ujung Bulo,
sebuah kampung Pa’raga. Dari tempat inilah awal mula berkembangnya seni ma’raga
. Namun gerakan-gerakan ini pada mulanya hanyalah gerakan biasa tanpa iringan
gendang, gong dan perangkat musik tradisonal lain yang kini kerap mengiringi
pa’raga.
Dalam
perkembangannya, kedatangan seorang Karaeng (raja) dari Gowa yang menyebarkan
Islam dengan memperkenalkan alat-alat musik tradisional seperti gendang dan
gong membuat ma’raga tidak lagi dilakukan dengan hanya gerakan-gerakan seperti
biasa, namun diiringi dengan alat-alat musik tradisional tadi. Dengan demikian,
bisa dipastikan ma’raga adalah salah satu medium penyebaran agama Islam di
Kaemba. Hal ini hampir sama dengan yang dilakukan Sunan Kalijaga di Pulau Jawa,
ketika melakukan syiar Agama Islam. Sebab melalui cara-cara seperti inilah,
Islam dengan mudah diterima masyarakat, tanpa harus melalui jalan-jalan
kekerasan. Hingga
kini, kentalnya corak Islami masih melekat pada atraksi pa’raga, setiap kali
melakukan atraksi ma’raga, para pemainnya kerap melafalkan ”Lailahaillalah”
dengan nada yang teratur. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga konsentrasi
permainan yang tingkat kesulitannya sangat tinggi. Kini gerakan ma’raga mampu
dilakukan dengan formasi tingkat tiga, yaitu gerakan membentuk tingkatan
manusia sambil terus memainkan bola raga hingga pemain yang berada paling atas
telah berdiri di posisinya. Gerakan inilah yang sekarang pada setiap
penampilannya membuat penonton cemas bercampur kagum menyaksikan kepiawaian
para pa’raga memadukan seni, kemampuan fisik dan nuansa religius.
Persera
Hingga
saat ini, pa’raga dari Desa Kaemba ini terhimpun dalam Persera (Persatuan Sepak
Raga) Ramba Kaleleng. Kelompok pa’raga ini bisa disaksikan atraksinya, jika ada
undangan pejabat dalam pembukaan sebuah acara, pesta rakyat atau diutus menjadi
duta budaya mewakili daerah untuk ajang lokal, nasional bahkan internasional.
Untuk melengkapi keindahan seni pa’raga tersebut, dalam setiap pementasan
lengkap dengan pakaian adatnya yang dikenal dengan songkok passapu, baju tutup
dan lipa sabbe yang terbuat dari kain sutera.
Keberlangsungan permainan yang merakyat ini, kini
bergantung pada keinginan dan niat pemerintah untuk bersama-sama dengan
pelaku-pelaku seni masyarakat Kaemba untuk terus melestarikan atraksi
tradisional yang mengharumkan nama daerah di pentas nasional maupun
mancanegara. Di sisi lain, secara tidak langsung juga menggiatkan olah raga
yang menggunakan bola yang terbuat dari rotan ini, guna mencari bibit-bibit
olahragawan yang menekuni sepak takraw di pentas nasional maupun internasional.